Pola Hidup Konsumtif dan Trend Budaya Fast-Fashion

Perkembangan teknologi dan kemajuan industrialisasi pasar memiliki dampak pula dalam pola perilaku konsumsi masyarakat bidang fashion. Secara tidak langsung dengan hadirnya trend,style, dan role model akan meningkatkan perilaku konsumtif. Dalam budaya konsumtif masyarakat cenderung terdorong untuk menggunakan berbagai macam produk sesuai dengan tren yang ada saat ini. Hal ini dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan primer, namun hanya untuk mendapat pengakuan antara sesama/status sosial yang lebih.

Seiring meningkatnya permintaan pasar pakaian, maka perusahaan Garmen maupun industri tekstil berlomba-lomba untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Industri fashion ini kemudian tidak lagi mengeluarkan produk dalam waktu normal, melainkan akan mengubahnya dalam waktu singkat bahkan hanya dalam satu bulan bisa mengeluarkan 1-4 produk baru yang seharusnya dikeluarkan dalam waktu 6 bulan.

Setelah mengeluarkan produk-produk baru tersebut yang tentunya sesuai dengan tren dan minat pasar, pembeli secara alamiah akan membeli produk tersebut dan kemudian perusahaan akan memproduksi pakaian dalam waktu lebih cepat dan menjualnya serta sitem produksi yang demikan akan selalu berulang, proses tersebut dinamakan tren fast fashion.

Fast fashion sendiri merupakan definisi singkat terkait produksi pakaian yang sesuai tren dengan harga murah dan di produksi dalam waktu cepat. Sebagai produsen, motif perusahaan Garmen ialah mendapat keuntungan dari penjualan yang murah, cepat dan banyak dengan menekan biaya produksi serta tidak “mengindahkan” regulasi mengenai lingkungan maupun hak pekerja nya.

Dalam laporan Ellen McArthur Foundation dijelaskan bahwa rata-rata sekarang industri tekstil masih menggunakan model produksi ekonomi linier (buat-gunakan-buang). Pakaian yang dibuang kemudian sangat menyumbang kerusakan lingkungan, namun disisi lain para perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan mencapai nilai 500 miliar dolar AS per tahun.

Dalam Lapoan McKinsey Company, ia mendapati bahwa 97% dari keuntungan industri busana hanya dikuasai oleh 20 perusahaan saja dan 12 dari 20 perusahaan sudah menjadi bagian dari anak grup ini selama satu dekade terakhir seperti Inditex (Zara, Pull&Bear, Stradivarius, Bershka dll ), H&M, Nike, dan Adidas. 2.

Dibalik kesuksesan industri tersebut, merak juga termasuk industri yang paling banyak menghasilkan dampak kerusakan lingkungan, diantaranya :

Pertama, untuk menekan biaya produksi biasanya industri fast fashion menggunakan bahan mentah yang murah, misalanya pewarna tekstil. Dengan harga yang murah dan berbahaya hal ini akan membahayakan kesehatan manuasa serta menyebabkan pencemaran air limbah.

Kedua, Untuk membuat 1 buah kaos putih membutuhkan 2700 liter air. Dilansir Greenpeace Jumlah tersebut sama dengan jumlah air yang kita minum selama 3 tahun. Selain itu, pemakaian baju menurun 35% selama 15 tahun ini, diartikan bahwa semakin orang tidak menghemat pemakaian baju maka semakin banyak juga pakain yang berakhir dibuang dna dibakar.

Ketiga, pakaian menggunakan bahan dasar kapas dan bahan sintetis yang terkadang mengandung serat plastik dimana membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai. Selain itu bahan katun yang dipakai beberapa dicampur air dan pestisida untuk mempercepat pertumbuhan dan panen. Hal ini dilihat sangat membahayakan para pekerja dan dapat meningkatkan potensi kekeringan, polusi tanah, serta berbagai masalah lingkungan lainnya.

Keempat, limbah pakaian yang tidak terpakai kemudian akan berakhir di pembuangan sampah dan dibakar. Limbah pakaian yang dibakar kemudian akan mengeluarkan karbon dioksida yang sangat membahayakan sistem pernafasan. Data dari Nasa.gov, terjadi peningkatan gas karbon di awal tahun 2020. Hal ini menjadi kenaikan drastis setelah tahun 2017. Saat itu gas karbon yang dihasilkan sekitar 406,94 juta dan awal tahun ini gas karbon yang dihasilkan 414 juta diikuti dengan kenaikan temperatur suhu menjadi 2 derajat Fahrenheit.

Merespon hal ini Greenpeace sebagai organisasi internasional melihat adanya industri Garmen tersebut menjadi suatu ancaman bagi lingkungan. Agenda Greenpeace biasanya berupa kampanye yang mengungkap permasalahan lingkungan dan kemudian memberikan solusi untuk permaslahaan yang sedang dikampanyekan.

Beberapa aksi Greenpeace dalam merespon permasalahan tersebut ialah mengadakan Gerakan kampanye Detox on Fashion sebagai upaya menentang merek fashion global untuk menghentikan semua bahan kimia berbahaya yang menjadi bahan produksi mereka. Kampanye Detox on Fashion sendiri dimulai pada bulan Juli 2011. Seperti tujuan utama Greenpeace untuk menghasilkn informasi yang edukatif, maka Greenpeace telah melakukan penelitian selama kurang lebih satu tahun terhadap persoalan polusi air di Tiongkok sebelum melakukan kampanye.

Dalam laporan Dirty Laundry, Greenpeace membuka hasil penelitian yang menunjukkan kandungan bahan kimia berbahaya oleh industri-industri fashion global ternama yang mendirikan pabriknya di Tiongkok. Dalam tulisan Dirty Laundry 1 dikatakan bahwa Tiongkok mengalami polusi air yang serius. Greenpeace menyebutkan sekitar 70% sumber air di Tiongkok telah terkontaminasi polusi yang berat dan beracun, air tersebut kemudian mengalir ke danau, sungai dan tempat penyimpanan air. Sehinngga air murni di Tiongkok sudah tidak aman untuk dimanfaatkan oleh manusia4. Selain itu, polusi air juga berdampak pada ikan-ikan sungai yang sudah tercemari bakteri sehingga pelan-pelan habitat mereka akan punah.

Masih ditahun yang sama (2011) Greenpeace mengeluarkan laporan yaitu Dirty Laundry 2: Unravelling The Toxic Trail from Pipes to Products. Laporan ini berhasil mengungkap proses produksi tekstil melibatkan bahan kimia yang tidak hancur di alam, namun justru merusak alam, meskipun telah menjadi limbah. Greenpeace berasumsi bahwa permaslaahan ini dapat teratasi jika mendapat dukungan partisipasi dari brand-brand fashion ternama dunia yang berhubungan langsung dengan supplier produksi tekstil di Tiongkok. Maka, lebih lanjut Detox Campaign on Fashion akan menarget brand terkenal dunia untuk berkomitmen menghilangkan penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produksinya.

Sepanjang 2011, Detox Campaign on Fashion berhasil mendapatkan kesediaan dari enam brand fashion dunia yaitu Puma, Nike, Adidas, H&M, C&A serta, Li Ning untuk menghilangkan penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya terhadap produksinya. Pada tahun 2012, brand fashion terkenal seperti Marks and Spencer, Zara, Esprit, Mango, dan Levi’s (Levi Strauss & Co). Kemudian di tahun 2013, brand fashion global lainnya yaitu Uniqlo, G-Star, Coop and Migros, Benetton, Victoria’s Secret dan Canepa juga menyatakan dukungan terhadap advokasi polusi air di Tiongkok dengan komitmen yang sama.

Sebagai generasi muda hal paling mendasar yang bisa kita lakukan ialah dengan mengembangkan trend Slow Fashion/ Sustaianble Fashion. Melalui trend baru ini secara tidak langsung kita dapat berkontribui untuk mengurangi penggunaan pakaian fast fashion dan mengurangi limbah pakaian yang dapat merusak lingkungan.

Hal yang dilakukan Greeenpeace juga telah membuktikan adanya promosi dan kampanye untuk mewujudkan trend Slow Fashion/ Sustaianble Fashion. Dilansir dari unfashionalliance.org, sektor tekstil sendiri telah menyumbang 30% peningkatan polusi udara dari gas carbon, selain itu pakaian yang terbuang setiap tahunnya adalah 500 juta buah yang kemudian menjadi sampah tidak ramah lingkungan serta menimbulkan banyak kerugian alam. 5. Walaupun berbagai Agenda dan upaya telah Greepeace untuk menerapkan pakaian ramah lingkungan, namun secara nyata industri fast fashion di Indonesia sendiri masih banyak merajalela. Hal ini bukti kurangnya tekanan kepada pemerintah yang mengatur regulasi kepada MNC terkait penggunaan bahan mentah dan limbah nya.

Selain itu juga kurangnya kesadaran para pengusaha industri Garmen, terhadap isu kerusakan lingkungan. Jika kita mau berpartisipasi aktif untuk menyelamatkan lingkungan, maka semuanya balik lagi kepada diri kita sebagai konsumen dan kepada perusahan Garmen tersebut. Sebagai konsumen kita harus peduli terhadap tren dan isu lingkungan ini sehingga kita tidak lagi membeli secara masif pakaian fast fashion dan menggantinya dengan pakaian ramah lingkungan/membeli pakaian thrift/second yang masih layak pakai. Untuk skala lebih besar kita juga bisa mengembangkan pengolahan limbah pakiaan/tekstil menjadi barang-barang bermanafaat lainya, seperti keranjang, hiasan dinding, tas, dompet dll.

----
Tulisan ini dibuat oleh :

Shefy Ade Yerima, biasa dipanggil Shefy. Shefy berasal dari Solo. Saat ini sedang kuliah semester 5 jurusan Hubungan Internasional di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. shefy bergabung dengan Teens Go Green Indonesia sejak 2020 ini melalui pendaftaran volunteer TeensGo Green Batch 2 dengan ID (TGG20200329). Isu fast-fashion menarik perhatiannya karena belom banyak orang yang peduli/mengetahui dengan hal ini, terlebih sekarang semakin banyak anak muda yang masih membeli produk hasil fast-fashion semakin banyak.

Posting Komentar

0 Komentar