Pada tanggal 8 November 2020, Teens Go Green (TGG) mengadakan kegiatan Kelas Belajar Lingkungan (KBL) yang memasuki pertemuan ketiga. KBL kali ini mengangkat tema “Hutan dan Masyarakat Adat” bersama Kak Mardha Tillah yang merupakan Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Acara KBL dibuka dan dipandu oleh MC, yaitu Fildzah dari TGG 2020.
Acara
inti yang diisi dengan pemaparan kak Tillah ini dimoderatori oeh Yosefin dari
TGG 2020. Sebelum memulai kelas peserta diwajibkan untuk mengisi pretest
terlebih dahulu. Pemaparan materi dimulai dengan memperkenalkan Rimbawan Muda
Indonesia (RMI) oleh Kak Tillah. RMI didirikan pada tahun 1992 dengan visi
menjadikan rakyat berdaulat atas tanah dan sumberdaya lokan untuk penghidupan
yang berkelanjutan. RMI berfokus pada beberapa hal yaitu sebagai berikut :
·
Gender dan
generasi dalam pengelolaan sumberdaya alam
·
Kepemimpinan
perempuan dan pemuda
·
Ekonomi kerakyatan
· Pembuatan kebijakan yang inklusif tentang sumberdaya alam
Kak Tillah menjelaskan, hutan adalah semua yang berada dalam dan dekat kawasan hutan seperti sawah dan kebun bukan hanya area yang penuh dengan pohon yang lebat saja, kawasan tersebut menjadi satu kesatuan karena hal tersebut menjadi sumber makanan mereka sehari – hari.
Kata ‘forest’ berasal dari bahasa latin yaitu forestis yang berarti luar dan silva yang berarti hutan. Jika dilihat
dari sejarah pada abab pertengahan Eropa, yang dimaksud dengan kata forestis di sini adalah wilayah yang
berada di luar dari area kerajaan yang bertujuan sebagai area berburu bagi
anggota kerajaan dan kerajaan mempunyai aturan tersendiri dalam wilayah
tersebut karena tidak semua orang dapat mengakases secara bebas wilayah hutan
tersebut.
Paradigma atau pemahaman ini kemudia dibawa oleh bangsa Eropa ke
daerah dunia selatan atau global south
yang menjadi daerah jajahan bangsa Eropa termasuk Indonesia. Bangsa Eropa
membuat sistem hutan di Indonesia mirip dengan pemahaman tersebut. Sehingga
masyarakat paham secara umum bahwa hutan kawasan tertentu tidak boleh ada
manusia dan jika ada manusia dianggap sudah rusak hutannya. Sebenarnya manusia
adalah bagian dari ekosistem hutan dan masyarakat adat itu sendiri sebelum
tempat tinggal kita berpindah ke kota dan bukan berarti hutan menjadi lestari
jika tidak ada campur tangan manusia karena sebenarnya hutan yang lestari juga
ada campur tangan manusia yang memutuskan untuk merusak hutan.
Masyarakat adat di Indonesia sudah diakui dalam
konstitusi UUD 1945 dan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa
hukum – hukum di Indonesia adalah berasal dari hukum adat walaupun bercampur
dengan berbagai hukum yang lain. Maka Kak Tillah berpesan jangan sampai kita
menganggap diri kita lebih tinggi dari masyarakat adat karena kemungkinan besar
masyarakat saat ini dulunya adalah menjadi bagian dari masyarakat adat sebelum
masyarakat menjadi individual, berbasi pada psar dan berbasi pada uang.
Hasil alam bagi masyarakat adat bukan hanya sekadar
komoditas tapi juga mengandung nilai spritual dan budaya. Contohnya terdapat
masyarakat adat yang menganggap padi adalah Dewi Sri sehingga mereka tidak
memperlakukan padi dengan asal – asalan. Selain itu ada juga masyarakat adat
yang tidak akan menjual beras mereka karena beras merupakan hal yang paling
dasar bagi mereka sehingga tidak mungkin menjual dan lebih baik jika berbagi.
Kak
Tillah menyebutkan masyarakat yang dapat disebut masyarakat adat jika :
·
Memiliki wilayah
·
Memiliki hukum
adat tertentu dan masih dijalankan
·
Memiliki lembaga
adat, contohnya terdapat ketua adat
· Mendiami suatu wilayah dalam kurun tertentu
Perbedaan
masyarakat adat dan non-adat
Masyarakat sekarang sangat bergantung pada sistem pasar, kalau masyarakat adat tidak seperti itu karena mengandalkan hasil alam. Kak Tillah menceritakan ketika RMI mengajak kawan – kawan dari Rimba berkemah di suatu wilayah hutan pinus yang monokultur.
Mereka kebingungan bagaimana mencari makan dari wilayah karena kawasan itu memiliki satu jenis pohon yang sama dan tidak ada tanaman lain yang dapat diolah menjadi bahan pangan. Mereka heran karena makanan harus dibeli karena cukup diambil dan dipanen dari alam. Namun kebalikan dengan masyarakat non – adat berpikir kebalikan bagaimana caranya mau mencari makanannya.
Peserta Kelas Belajar 3 bersama Kak Tilla dari RMI |
Mengapa harus
memahami ini?
Dengan memahami ini, kita menjadi memamahmi cara pandang orang lain sehhingga dapat menjadi pribadi yang lebih toleran karena dapat melihat sudut pandang yang lain dan memosisikan diri pada posisi orang lain sehingga kita dapat membantu membuat kebijakan yang lebih adil dan inklusif.
Terakhir
Kak Tillah berharap kepada kita untuk bersama – sama mendorong agar turut aktif
mengetahu konstitusi dan peraturan mengenai masyarakat adat agar paham seperti
apa dan bagaiman dampaknya. Kita juga harus belajar sejarah karena kita berada
di titik ini tidak lepas dari masa lalu.
Setelah pemaparan materi dari Kak Tillah dilanjutkan
dengan sesi tanya jawab. Peserta KBL terlihat antusias untuk mengikuti diskusi
tanya jawab ini. Sebelum menutup sesi ini, peserta dan narasumber diminta untuk
dapat berfoto bersama. Di pengunjung acara untuk mencairkan suasana setelah
sesi pemaparan materi terdapat sesi game yang
telah disiapkan tim dinamisator TGG.
Akhir acara peserta diminta untuk jangan lupa mengerjakan post test
materi KBL Pertemuan 3 dan mengikuti sesi KBL selanjutnya.
----
Catatan ini dibuat oleh :
Fildzah Hanifatiningsih atau akrab disapa Fildzah adalah seorang anak muda yang memiliki ketertarikan pada dunia literasi dan content writing. Saat ini Fildzah sedang berkuliah di IPB University jurusan Ilmu Ekonomi semester 5. Fildzah bergabung dalam Teens Go Green sebagai Volunteers pada tahun 2020 di batch 2.
0 Komentar